Sepuluh siswa SMA Terpadu
(SMAT) Krida Nusantara, Bandung, tengah bersiap-siap menanti penerbangan menuju
Melbourne, Australia. Mereka adalah Anggina Dwi Reswari, Helen Anastasya, Levy
Almas, Alvieda Giffani, Tri Anggita, Zulfikar Caesar, Jonathan Reza,
Prihartanto Nursatya, Lucky Jeremy, dan saya sendiri, Prima Cakra. Kami merupakan
duta pertukaran pelajar yang terpilih dari sekolah setelah melalui beberapa
tahap seleksi.
Setelah 6 jam penerbangan dari Jakarta tibalah kami di
kota destinasi, Melbourne. Di sana kamu langsung dijemput oleh orang tua asuh (guest parents) masing-masing. Seperti diplomat,
kami ini mengemban nama baik negara sekaligus memikul tanggung jawab menyampaikan
budaya baik bangsa. Kesepuluh duta disebar ke tiga sekolah di Kota Melbourne,
yaitu PEGS, Fintona Girl School, dan Scotch Collage. Pengalaman luar biasa mulai
kami rasakan.
Bisa berinteraksi dan mempraktikkan bahasa Inggris
langsung dengan sumbernya merupakan kesempatan emas dalam meningkatkan
kemampuan berbahasa Inggris. “Selain kami yang menggunakan bahasa Inggris, mereka
juga beberapa kali memamerkan keahlian bahasa
Indonesia mereka di depan kami meskipun sangat banyak terdapat kesalahan dalam
tata bahasa ataupun pengucapannya,” tutur Jonathan Reza. Kebetulan, di tiga
sekolah tersebut memang ada kurikulum bahasa Indonesia sebagai subjek mata
pelajaran pilihan.
Kami yang tergabung dalam program pertukaran pelajar ini
mengikuti kegiatan pembelajaran sekolah layaknya pelajar di sana. Kami juga
ikut merasakan kegiatan ekstrakulikuler seusai jam sekolah regular seperti
sepak bola, rugby, hoki, tenis, dan sebagainya. Di luar itu, tentu saja kami
juga tak menyia-nyiakann kesempatan berjalan-jalan mengunjungi beberapa
destinasi wisata dan menikmati suasana Kota Melbourne Bersama siswa pertukaran
dari negara lain. Duta pertukaran pelajar yang ditempatkan di Scotch Collage,
misalnya, mendapat kesempatan melihat hewan-hewan khas Australia di Heasville Sanctuary
dan mengunjungi tempat ditemukannya emas terbesar kedua di dunia, Soveirgn
Hill.
Mengenal lebih dalam
Tak dapat disangkal
remaja saat ini sedang dilanda arus westernisasi. Apakah menguntungkan atau
merugikan? Keduanya sama-sama memberikan alasan yang kuat. Namun, siapa yang
tahu pandangan kita tentang kehidupan barat tidak total benarnya. Para pelajar
pertukaran sudah mengalami langsung bagaimana keseharian yang dilakukan
masyarakat di Kota Melbourne. Kebebasan liberal yang mereka anut terutama oleh
generasi muda bukanlah tanpa batasan-batasan tertentu.
Generasi muda benar-benar menjadi fondasi bagi kemajuan “Negeri
Kanguru”. Oleh karena itu, pemerintah negeri tersebut sebisa mungkin menjaga
keberadaan mereka. Jarang terlintas bahkan hampir tidak pernah ada pemuda
berumur 18 tahun melakukan perilaku-perilaku yang sebetulnya hanya dilakukan
orang dewasa. Mereka pun tidak malu untuk menggunakan kendaraan publik meskipun
ketika sedang berakhir pekan Bersama rekan-rekannya. Hebatnya lagi perilaku itu
mereka lakukan tas kesadaran mereka sendiri bukan hanya karena paksaan aturan
yang mengikat.
Upah pekerja di sana memang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan di Indonesia. Pekerjaan yang hanya dilakukan setiap akhir
pean saja bila dirupiahkan bisa mencapai lebih dari satu juta rupiah. Tak mengherankan
kalau banyak mahasiswa Indonesia yang tengah mengenyam Pendidikan di sana
cenderung mengambil pekerjaan sampingan. Hal ini tentu menjadi pembiasaan yang
bermanfaat bagi terbentuknya kemandirian.
Dalam hal makanan, ada satu hal yang saya cermati, mereka
tidak dapat membuat makanan layaknya orang Indonesia yang kaya akan
rempah-rempah dan dengan teknik pembuatan yang cukup rumit. Mungkin ini juga
disebabkan dinamisnya kehidupan di sana yang membuat mereka terpaksa melakukan segala
sesuatu serbacepat. Untuk satu hal ini, menurut saya, kita sebagai bangsa
Indonesia harus bangga memiliki variasi kuliner yang kaya dengan cita rasa.
Bila dicermati lebih mendalam kegiatan pertukaran pelajar
selama satu bulab ini sangat bermanfaat untuk membuka cakrawala, mengamati budaya
positif dari masyarakat Australia yang tidak ada salahnya kita adaptasi. Tentu saja
bukan hal sadap-menyadap seperti yang ramai dibicarakan di media belakangan
ini, ya. Semoga saja kegiatan seperti ini bisa menjadi wahana memperkaya
wawasan dan kemandirian. (Prima SMAT-KN)